Sumpah Pemuda dan Revolusi Pendidikan Zaman Now
Senin, 27 Oktober 2025
Tulis Komentar
Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati hari bersejarah yang menandai kebangkitan kesadaran nasional: Sumpah Pemuda. Di tahun 1928, para pemuda dari berbagai daerah, suku, dan latar belakang berkumpul di Jakarta untuk mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.
Tiga kalimat sederhana itu bukan sekadar sumpah, tetapi api peradaban yang menyalakan semangat persatuan dan tekad membangun negeri.
Kini, hampir seabad kemudian, kita hidup di tengah revolusi digital dan disrupsi teknologi. Dunia telah berubah. Informasi berpindah lebih cepat daripada cahaya, dan generasi muda hidup dalam dunia yang terhubung 24 jam tanpa batas ruang. Namun, di balik kemajuan itu, kita dihadapkan pada pertanyaan penting:
Apakah semangat Sumpah Pemuda masih hidup di hati generasi zaman now?
Sumpah Pemuda: Dari Perjuangan Fisik ke Perjuangan Intelektual
Pemuda 1928 berjuang dengan tinta dan darah. Mereka menembus sekat kolonialisme, membangun kesadaran nasional, dan menegakkan martabat bangsa. Pemuda hari ini tidak lagi berhadapan dengan penjajah bersenjata, tetapi dengan tantangan baru yang lebih halus: kebodohan digital, krisis moral, dan degradasi nilai.
Di sinilah revolusi pendidikan harus memainkan perannya. Pendidikan tidak boleh hanya mencetak generasi pintar, tetapi harus melahirkan generasi berkarakter dan berjiwa kebangsaan.
Kita membutuhkan sekolah yang tidak sekadar mengajarkan rumus dan hafalan, tetapi menumbuhkan jiwa kritis, empati sosial, dan kesadaran spiritual.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Hadis ini mengingatkan kita bahwa nilai sejati seorang pemuda tidak diukur dari penampilan atau kecanggihannya, melainkan dari hati yang tulus dan amal nyata yang ia persembahkan bagi umat dan bangsanya.
Pendidikan Zaman Now: Antara Teknologi dan Nilai
Revolusi digital telah mengubah cara kita belajar. Satu klik di layar gawai bisa membuka ribuan sumber ilmu. Tapi sayangnya, kemudahan ini juga membawa tantangan besar — banjir informasi tanpa filter nilai.
Banyak pemuda cerdas secara akademik, tetapi kehilangan arah secara moral. Mereka ahli dalam teknologi, namun kadang miskin dalam empati.
Di sinilah pentingnya pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai Islam dan kebangsaan.
Sekolah dan madrasah harus menjadi tempat tumbuhnya generasi literat sekaligus berakhlak, generasi yang tidak hanya melek digital, tapi juga melek nurani.
Kurikulum perlu dihidupkan dengan ruh Al-Qur’an — membentuk manusia yang berpikir kritis sekaligus berjiwa rahmatan lil ‘alamin.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Mujadilah ayat 11:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Ayat ini menegaskan bahwa iman dan ilmu adalah dua sayap kemajuan. Pemuda yang beriman tanpa ilmu akan mudah tersesat, sementara ilmu tanpa iman akan kehilangan arah moral.
Menghidupkan Semangat Persatuan di Tengah Perbedaan
Semangat Sumpah Pemuda lahir dari keberagaman. Para pemuda 1928 berbeda bahasa, adat, dan daerah, tapi satu dalam cita-cita.
Itu pelajaran berharga bagi kita di era sekarang — ketika perbedaan sering dijadikan alasan untuk saling menjauh.
Media sosial yang seharusnya menghubungkan manusia, sering kali justru menjadi arena pertikaian dan ujaran kebencian.
Di sinilah generasi muda Islam harus tampil sebagai pelopor persatuan dan kedewasaan digital.
Menjadi pemuda beriman bukan hanya rajin beribadah, tetapi juga bijak dalam bermedia, sopan dalam berkata, dan santun dalam berdebat.
Sumpah Pemuda zaman now bukan lagi hanya “satu bahasa Indonesia”, tapi juga “satu etika digital yang bermartabat”.
Dari Sekolah Menuju Perubahan Sosial
Sekolah hari ini memegang peran strategis sebagai laboratorium kepemimpinan pemuda. Di ruang kelas, siswa belajar bukan hanya tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang kehidupan.
Guru bukan sekadar pengajar, tetapi pembentuk karakter dan pembimbing jiwa.
Kepala sekolah dan guru harus menyalakan kembali “api Sumpah Pemuda” melalui pendidikan yang menggugah kesadaran — membentuk generasi yang berpikir global, namun berjiwa lokal; berteknologi tinggi, tapi berhati Qur’ani.
Program pembelajaran berbasis proyek, kegiatan literasi, kepanduan, hingga dakwah pelajar adalah sarana strategis untuk melatih tanggung jawab sosial dan kepemimpinan.
Di situlah semangat “mengubah dunia” ditanamkan bukan lewat kata-kata, tapi melalui tindakan nyata.
Sumpah Pemuda Milenial
Sumpah Pemuda bukan sekadar peringatan sejarah. Ia adalah cermin komitmen moral generasi muda untuk terus menjaga persatuan dan kemajuan bangsa.
Tugas kita hari ini adalah meneruskan api perjuangan itu dalam bentuk baru — bukan dengan bambu runcing, tetapi dengan pena, ide, inovasi, dan integritas.
Pemuda zaman now harus berani bersumpah ulang dalam konteksnya sendiri:
“Kami, pemuda Indonesia, beriman kepada Allah, cinta kepada tanah air, dan siap membangun peradaban dengan ilmu dan akhlak.”
Jika semangat itu hidup dalam diri setiap pelajar, mahasiswa, dan guru, maka Sumpah Pemuda tidak akan pernah menjadi sekadar kenangan masa lalu — ia akan terus menyala sebagai energi perubahan menuju Indonesia yang lebih cerdas, berkarakter, dan beradab.
Belum ada Komentar untuk "Sumpah Pemuda dan Revolusi Pendidikan Zaman Now"
Posting Komentar