Pergaulan
di tengah masyarakat memerlukan ilmu agama (al-fiqhu fid-din), baik
terkait fiqhul ahkam, maupun fiqhud-da’wah.
Secara
sederhana, yang dimaksud fiqih ahkam adalah pemahaman terhadap Al-Qur’an
dan As-Sunnah dan juga sumber-sumber mu’tabar lainnya, demi mendapatkan
kejelasan tentang hukum sesuatu, adakah dia wajib, sunnat, mubah, makruh
ataukah haram.
Sedangkan
fiqih da’wah, secara gampang, maksudnya adalah mengambil pilihan-pilihan
fiqih ahkam yang mana yang cocok untuk masyarakat yang dida’wahinya.
Sebagai
contoh, seorang aktifis da’wah sering dibingungkan oleh pilihan yang mana yang
tepat dalam hal, mengeraskan bacaan bismillah-nya Al-Fatihah atau membacanya
secara pelan, saat dia “dipaksa” atau terpaksa, atau kejadian mesti menjadi
imam shalat berjamaah.
Atau,
manakah yang harus dipilih oleh seorang aktifis da’wah saat ia mengimami shalat
shubuh, harus qunut-kah dia, ataukah ia tidak usah qunut. Hal yang sama juga
bisa terjadi saat ia mengimami shalat witir berjama’ah di bulan Ramadhan.
Atau
saat sang aktifis da’wah berhadapan dengan situasi dan kondisi semacam dua
kondisi di atas.
Ibnu
Taimiyyah –rahimahullah-
(661 – 726 H = 1263 – 1328 M) telah membahas masalah seperti ini didalam Majmu’
Fatawa-nya (XXII/344) yang ringkasan (khulashah)-nya adalah sebagai
berikut:
1. Dibenarkan bagi seseorang untuk
ber-qunut atau tidak ber-qunut demi ta’liful qulub (mengambil hati
jama’ah dan menjaga persatuan serta kesatuan kaum muslimin).
2. Dibenarkan juga ia mengambil pilihan yang berseberangan dengan kebiasaan masyarakat dan jama’ahnya, demi menegakkan dan mengajarkan as-sunnah (ajaran Rasulullah SAW). Namun, pilihan ini dibenarkan untuk dilakukan, jika:
a. Sang aktifis dakwah telah mengukur dan menimbang sikap yang mungkin muncul dari jama’ah dan masyarakatnya.
b. Sang aktifis telah melakukan tahyiah nafsiyah atau pengkondisian psikologis jama’ah dan masyarakatnya.
c. Sang aktifis telah lama membangun upaya ta’liful qulub terhadap jama’ah dan masyarakatnya.
d. Sang aktifis telah melakukan berbagai macam muqaddimat (pembukaan-pembukaan) yang dapat diterima oleh jama’ah dan masyarakatnya.
2. Dibenarkan juga ia mengambil pilihan yang berseberangan dengan kebiasaan masyarakat dan jama’ahnya, demi menegakkan dan mengajarkan as-sunnah (ajaran Rasulullah SAW). Namun, pilihan ini dibenarkan untuk dilakukan, jika:
a. Sang aktifis dakwah telah mengukur dan menimbang sikap yang mungkin muncul dari jama’ah dan masyarakatnya.
b. Sang aktifis telah melakukan tahyiah nafsiyah atau pengkondisian psikologis jama’ah dan masyarakatnya.
c. Sang aktifis telah lama membangun upaya ta’liful qulub terhadap jama’ah dan masyarakatnya.
d. Sang aktifis telah melakukan berbagai macam muqaddimat (pembukaan-pembukaan) yang dapat diterima oleh jama’ah dan masyarakatnya.
Fiqih
da’wah seperti ini beliau dasarkan pada prinsip: al-mafdhul qad yashiru
fadhilan limashlahatin rajihatin. Maksudnya, suatu amal yang menurut kajian
disimpulkan sebagai amal yang tingkat keutamaannya lebih rendah (mafdhul),
bisa berubah menjadi tingkat lebih tinggi (fadhil) karena adanya
kemaslahatan yang menjadikannya unggul.
Kata
beliau (Ibnu Taimiyyah): “Kalau sesuatu itu pada asalnya haram, bisa berubah
menjadi wajib karena adanya mashlahat rajihah (pertimbangan kemaslahatan yang
mengunggulkannya), atau karena alasan untuk menolak madharat yang lebih besar,
apatah lagi kalau urusannya “hanyalah” urusan mafdhul dan fadhil, tentu
perubahan dalam yang terakhir ini, jika ada mashlahat rajihah, lebih berhak
untuk terjadi.
Hal
ini mirip-mirip dengan perbandingan antara membaca Al-Qur’an, berdzikir dan
berdo’a di satu sisi, dengan shalat di sisi yang lain.
Jika
dua bentuk ibadah ini diperbandingkan, secara umum, jelas shalat lebih afdhal
daripada membaca Al-Qur’an, berdzikir dan berdo’a.
Namun,
saat seseorang sedang berada di masya’ir al-haram (Arafah, Muzdalifah, Mina, Shafa
dan Marwa), maka berdo’a di tempat-tempat ini lebih afdhal daripada shalat dan
membaca Al-Qur’an.
Juga,
kalau harus memperbandingkan antara membaca Al-Qur’an dan membaca tasbih,
secara umum, jelas, membaca Al-Qur’an lebih afdhal daripada bertasbih, namun,
saat seseorang sedang ruku’ atau sujud, maka ia dilarang membaca Al-Qur’an.
Logika
fiqih da’wah inilah yang mendasari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
(164 – 241 H = 780 – 855 M) mengeluarkan fatwa kepada murid-muridnya agar saat
mereka berada di Madinah al-Munawwarah, para muridnya, kalau mengimami shalat,
agar tidak men-jahar-kan (melantangkan) bacaan bismillah, sebab, di zamannya,
penduduk Madinah banyak yang mengikuti madzhab Maliki, di mana dalam madzhab
Maliki, seorang Imam tidak membaca bismillah.
Contoh kasus lain yang disebut oleh Ibn Taimiyyah diantaranya:
1. Shalat qabliyah Jum’at
Ibnu Taimiyyah
berkata (XXIV/194): “Jika seseorang berada di tengah suatu kaum yang
melaksanakan shalat sunnat qabliyah Jum’at, jika ia adalah seseorang yang
ditaati dan dituruti jika meninggalkannya, dan ia dapat memberi penjelasan
kepada mereka tentang sunnah Rasulullah SAW yang sebenarnya tanpa mendapatkan
pengingkaran dari mereka, bahkan justru mereka akan mengerti mana yang
merupakan sunnah Rasulullah SAW, maka sebaiknya ia tidak melaksanakan shalat
qabliyah Jum’at, namun, jika ia bukanlah seorang yang ditaati dan dituruti oleh
mereka, dan ia berpandangan bahwa dengan melaksanakan shalat qabliyah Jum’at ia
akan dapat men-ta’lif hati mereka kepada hal yang jauh lebih bermanfaat, atau
dengan melaksanakan shalat qabliyah Jum’at itu ia dapat menghindari permusuhan
dan keburukan-keburukan lainnya, sebab memang ia tidak memiliki kemampuan untuk
menjelaskan kebenaran kepada mereka, atau agar mereka bisa dapat menerimanya,
atau semacam itu, maka melakukan shalat qabliyah Jum’at baginya juga baik”.
2. Shalat Witir antara 2+1 dan 3 rakaat sekaligus
Ibnu Taimiyyah
berkata: “Karena inilah para Imam; Ahmad dan lainnya, mengatakan bahwa sunnat
hukumnya bagi seorang imam meninggalkan sesuatu yang afdhal menurutnya jika hal
itu memberi dampak ta’liful qulub terhadap makmum. Contohnya adalah masalah
shalat witir antara tiga rakaat langsung dengan dua rakaat salam lalu tambah
satu rakaat. Jika menurut seorang Imam bahwa yang afdhal adalah 2 + 1, namun
makmum menghendaki tiga rakaat langsung, jika sang imam ini tidak mampu
melaksanakan yang afdhal menurut dirinya, maka hendaklah ia melaksanakan shalat
witir tiga rakaat secara langsung”.
Oleh :
Musyaffa AR
* Sumber Bacaan:
1. Tazahumul ahkam asy-syar’iyyah fid-da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibn Taimiyyah, tulisan Abu Bakar Al-Baghdadi, Majallah Al-Hikmah, (Leeds: Britain, tahun 1412 H), vol. VII, hal. 63 – 64.
2. Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah bitahqiq Abdirrahman bin Muhammad bin Qasim, (Madinah: KSA, 1416 H/1995M), vol. 22, hal. 344 – 345.
0 Response to "Fiqih Da'wah Ibnu Taimiyyah | Panduan Da'wah di Masyarakat"
Posting Komentar